Oleh: Ust. Lathief Abdallah Pengasuh Pondok Baitul Hamdi
ReaksiNews.com || Korupsi di Indonesia semakin menggila! Kalimat itu wajar terlontar. Bukannya menurun, korupsi malah kian mengganas. Alih alih bebas korupsi melainkan korupsi makin bebas.
Kasus terbaru yang menggemparkan adalah korupsi dalam tata kelola timah tahun 2015 sampai 2022, dengan 16 tersangka yang ditetapkan oleh Kejaksaan Agung. Kerugian negara dalam kasus ini mencapai Rp 271 triliun ! Sebelumnya nilai Fantastis korupsi BTS kominfo senilai Rp 8,32 Triliun, dan di kementan13, 9 miliar.
Sektor Sektor pertambangan, terutama minerba, menjadi sasaran korupsi yang merugikan negara. Begitu pula dengan sektor pembangunan dan infrastruktur, dimana modus korupsi seperti mark up tinggi terjadi.
Menurut KPK, dalam beberapa kasus korupsi infrastruktur, nilai riil proyek hanya setengah dari nilai kontrak semula, dengan sisanya digunakan untuk kepentingan pribadi para koruptor.
Setidaknya ada tiga faktor yang menyebabkan maraknya korupsi yaitu: Pertama, faktor lemahnya karakter individu (misalnya individu yang tak tahan godaan uang suap).
Kedua, faktor lingkungan/masyarakat, seperti adanya budaya suap atau gratifikasi yang berawal dari inisiatif masyarakat. Ketiga, faktor penegakan hukum yang lemah, misalnya adanya sikap tebang pilih terhadap pelaku korupsi, serta sanksi bagi koruptor yang tidak menimbulkan efek jera.
Dalam pandangan syariah Islam, korupsi termasuk perbuatan khianat. Orangnya disebut khaa`in. Korupsi adalah tindakan pengkhianatan yang dilakukan oleh seseorang berupa menggelapkan harta yang diamanatkan kepada dirinya (Lihat: Abdurrahman al-Maliki, Nizhaam al-Uquubaat, hlm. 31).
Setidaknya ada 6 (enam) langkah untuk mencegah korupsi. Pertama: Rekrutmen SDM aparat negara wajib yang amanah serta berasaskan profesionalitas dan integritas, bukan berasaskan koneksitas atau nepotisme. “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mengkhianati Allah dan Rasul-Nya. Jangan pula kalian mengkhianati amanah-amanah kalian. Padahal kalian tahu” (TQS al-Anfal [8]: 27).
“Pemimpin yang memimpin rakyat adalah pengurus dan dia bertanggung jawab atas rakyat yang dia urus”(HR al-Bukhari). “Jika urusan diserahkan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah hari kiamat”. (HR Bukhari).
Kedua: Negara wajib melakukan pembinaan kepada seluruh aparat dan pegawainya sebagaimana yang dilakukan Rasulullah kepada
Muadz saat ditugaskan ke Yaman. Antara lain nabi berwasiat kepadanya, “Bertakwalah kepada Allah di mana pun engkau berada, ikutkanlah keburukan dengan kebaikan niscaya kebaikan menghapusnya dan berakhlak lah kepada manusia dengan akhlak yang baik,”.
Ketiga: Negara wajib memberikan gaji dan fasilitas yang layak kepada aparatnya agar tidak ada alasan untuk berbuat curang. Karena itu Islam melarang menerima suap dan hadiah bagi para aparat negara.
“Barangsiapa bekerja untuk kami dan ia belum mempunyai rumah, maka hendaklah ia mengambil rumah. Atau, jika ia belum mempunyai isteri maka hendaklah ia mengambil isteri. Atau, jika ia tidak mempunyai seorang pembantu maka hendaklah ia mengambil seorang pembantu. Atau, jika ia tidak mempunyai kendaraan maka hendaklah ia mengambil kendaraan. Maka barangsiapa mendapatkan apa yang selain itu maka ia adalah pencuri.” (HR.Ahmad)
Dalam hadits lain disebutkan “Siapa saja yang kami angkat untuk satu tugas dan telah kami tetapkan pemberian (gaji) untuk dia maka apa yang dia ambil setelah itu adalah harta curang” (HR Abu Dawud dan al-Hakim). “Hadiah yang diberikan kepada para penguasa adalah suht (haram) dan suap yang diterima hakim adalah kekufuran.” (HR Ahmad).